Senin, 08 Oktober 2012

My Short Story: Aurora Untuk Gadis Pecinta Pelangi




Saat itu aku tak pernah tau, siapa Paman, paman bukan dalam arti denotasi, yang berarti karena suatu pertalian darah, namun paman ini adalah paman yang bertalian jiwa karena berarti dan memberikan makna dalam pandanganku. Pandangan lagi-lagi bukan dalam arti denotasi yang menggunakan indra sepasang dengan dua warna, hitam dan putih, namun pandanganku adalah semua yang terbaca dalam hatiku. Bagiku indra ada enam, walaupun orang-orang berfikir itu konyol, namun aku bangga akan pendapatku bahwa hati adalah indra utama, karena segalanya akan tampak, akan terdengar, akan tercium, akan terasa, dan teraba dengan perasaan dalam hati. Bahkan kebohongan yang tak tampak, suara di dalam yang tak terdengar, dan segalanya yang tak biasa bisa dirasakan. Jadi pandanganku itu menggunakan indra utama, itu pendapatku.
Saat itu aku masih belum begitu mengerti, seperti apa dunia ini, seperti apa yang orang bilang hijau, merah, terang, gelap, lalu yang selalu aku lihat itu apa? Apa itu yang disebut gelap,… aku dengar suara orang-orang di sekitarku yang selalu bilang kalau aku anak tak begitu beruntung,…tapi aku bisa melakukan sesuatu tanpa bantuan mereka, bahkan saat tak ada yang menemaniku aku tak merasa kesepian, karena aku tak pernah tahu rasanya kebersamaan, jadi mungkin segala yang sebenarnya aku rasakan namun aku tak tau kalau aku merasakannya mungkin karena aku tak pernah merasakan sesuatu yang berlawanan dari itu.
Aku selalu merenungi apa yang pernah terjadi saat aku bersama paman saat itu, paman yang membuatku merasa hidup dan bermakna, yang mengajariku berpikir berdasarkan apa yang kuyakini, dan mengenalkanku pada pelangi. Kata paman, pelangi itu semacam lingkaran, bukan, setengah lingkaran yang terdiri dari himpunan-himpunan warna, warna itu tergantung cara orang melihatnya, saat sedih pasti warna merah yang dominan, saat senang pasti akan tampak lengkungan biru yang berbeda dengan langit, saat bingung, hijau akan lebih menyala, dan lain-lain…aku memang tak mengerti seperti apa itu, tapi setiap kali aku merasakan udara yang lain, hati yang lega dan tenang, paman bilang
”Ada pelangi di langit, warna biru nyata dan lembut, sebentar lagi akan berpindah ke bola matamu, tunggu saja dan mereka akan tercengang….”, perasaan nyaman ini yang membuatku menyukai pelangi, dan seperti sebuah insting, aku hampir tak pernah salah merasakannya. Kali ini pikiranku kembali tertambat pada sebuah harapan, harapan untuk bertemu dengan orang yang pernah memberi arti dalam maknai hidup, dan semua berawal dari sebuah lengkungan yang berwarna biru muda, diikuti lengkungan lain bermacam warna, tujuh, kata orang…
&&&
Wah, cerahnya saat ini, ini yang kurindukan….bau hujan yang masih membekas di hari yang mulai cerah, nikmat yang kutunggu karena aku mulai melihat lengkungan biru, ah ….merah, bukan…itu memang biru, biru berbingkai merah, apa ya artinya…pasti dia juga merasakannya, gadis kecil itu, yang menjadi satu-satunya teman, bukan teman, bagiku dia seperti orang dewasa yang bisa menyadarkanku…. dimana ia sekarang, pasti sudah punya orang lain yang menggantikanku….
Dimana lengkungan itu, ah…lagi-lagi hanya khayalan yang menghubungkanku dengannya, Tuhan memang punya banyak cara untuk tetap menjaga i nteraksi seorang dengan yang pernah ia ketahui…tak ada lagi hal seperti itu di sini….tapi sungguh tak ada yang kusesalkan karena sudah ada yang menggantikannya, mengapa harus merindukan pelangi bila pada saat-saat tertentu s aurora yang melebihi indahnya dapat kita saksikan. Warna yang bercampur dengan kombinasi sempurna, bisa berubah bentuk tanpa mengurangi indahnya, sungguh iatu merupakan hiasan langit terindah. Andai saja gadis itu dapat melihatnya, mungkin akan lain yang ia rasakan. Tapi meskipun begitu, aku tetap merindukan pelangi, entah pelangi atau gadis kecil itu yang kurindukan, tapi aku ingin mencarinya.
Saat itu aku tak tahu apa yang harus kulakukan, aku tak punya teman, mereka menjauhiku karena kata mereka, aku punya sikap aneh, aku selalu kasar, tak punya pola pikir menentu, dan jauh dari kelembutan. Aku selalu merasa rendah diri, itu yang membuatku tak bisa berusaha untuk mengubah diriku, aku hanya menganggap hidup ini hanya untuk menunggu, menunggu, dan harus sabar dalam siksaan, ya begitulah, hidup ini hanya siksaan yang harus ditunggu kapan berakhirnya. Ketika itu aku melihat seorang anak, seperti biasa aku tak acuh saja, untuk apa, namun karena tak ada yang bisa mengalihkan pandanganku, terpaksa kuamati tanpa pikiran apapun. Lama kuperhatikan ada yang lain darinya, pandangannya kosong, matanya tak bergerak sedikitpun, sejak itu aku tahu bahwa ia tak bisa mengerti perbedaan perbedaan yang selalu kulihat, ia buta. Aku merasa iba, untuk yang pertama kalinya, apalagi ia sendiri tanpa teman, aku merasa senasib dan sependeritaan, akhirnya kudekati dia.
” Hai Nak, apa yang kau lakukan disini?”
”Aku senang suasana seperti ini, Paman. ”
” Memangnya apa yang membuatmu senang?”
” Semuanya, harumnya, hangatnya, dan indahnya…apa Paman tak tahu?”
” Indahnya? Bagaimana kau tahu indahnya ?”
” Aku bisa rasakan. ”
” Nak, apa kau punya teman?”
” Teman, untuk apa, aku cukup seperti ini.”
” Apa kau tak kesepian?”
” Apa itu kesepian Paman?, bukankah kita selalu seperti ini,…setiap hari, …”
” Setiap hari?, jadi yang kaulakukan setiap hari hanya seperti ini?”
” Ya… tapi aku senang Paman.”
Saat itu aku tak mengerti, apa yang dipikirkan anak sekecil ini, tak berbeda jauh dariku, tapi aku merasa punya kewajiban untuk menyadarkannya. Hah….menyadarkannya? aneh memang, aku saja tak pernah tau bagaiman cara memaknai hidup dalam keadaan seperti ini. Itulah akhir pertemuan pertamaku dengannya, yang menjadi awal pertemuan-pertemuan berikutnya, sebelum Ayah dan Ibu membawaku ke negeri aurora ini.
Keinginanku untuk mengubah ”pandangan” gadis kecil ini membuatku berusaha mengubah arah hidupku, aku tak lagi menunggu tapi berkeyakinan bahwa ada yang menungguku, aku selalu berusaha mempertahankan keyakinan itu. Seperti air yang mengalir, dan awan yang berarak-arakan entah seperti tanpa ujung, aku mulai berjuang tanpa peduli itu sungguh melenceng jauh dari pola pikirku yang kata orang bukan pola pikir pada umumnya….kata orang
&&&
Kata orang, paman tak pernah kelihatan lagi, mungkin ia belum pulang. Yang paling membuatku terkesan adalah perjuangannya yang seperti air mengalir tanpa henti dan putus, yang mampu mebuatku merasa nyaman. Aku yang selalu menghabiskan waktuku untuk menikmati suasana yang entah seperti apa, yang kuanggap hangat, dan kurasakan indah itu kini mempunyai hal lain yang harus dimengerti, tentang keberadaan semua yang ada, dan memaknai apa yang sudah kita miliki. Seperti pelangi, selalu datang bersama dengan suasana yang nyaman, melegakan, tak hanya satu warna. Aku tak hidup sendiri, aku hidup bersama makhluk lain, lingkungan lain, dalam satu dunia, aku tak berbeda dengan mereka, hanya sedikit lain.
Aku sadar, selama ini aku hanya tak tahu dan tak peduli akan ketidak tahuanku, aku tak sekalipun menikmati apa yang kukatakan menikmati, aku hanya habiskan waktu dengan apa yang kualami dengan berpura-pura bahagia. Padahal aku ada dalam hampa, tanpa makna. Terima kasih karena aku segera tahu, apa yang harus kutahu dan yang harus kulakukan, tak habiskan waktu sia-sia. Semua karena paman, tapi dimana ia sekarang, bukankah ia juga punya masalah…. aku harus membantunya, sebisaku, aku akan mencarinya….. bisakah? Kenapa tidak?
&&&
Pernah terpikir olehku untuk mencarinya, tapi pasti ia sudah melupakanku, untuk apa mengingat orang asing yang berbicara panjang tapi bingung pada yang harus disampaikan. Orang asing itu juga tak bisa mengubah dirinya terlalu banyak, ia hanya berkembang menjadi manusia yang agak lebih meghargai orang lain dan menjadi jarang berbuat yang mengarah pada kekerasan, satu yang perlu diingat bahwa ia mempunyai teman. Tidak semua orang menjauhinya. Dan orang asing itu kembali tak tahu apa yang harus dilakukan untuk selalu mengenang si gadis kecil, ingin pulang kembali ke tanah air, namun apa gunanya? Siapa gadis itu? Apakah dalam tiga pertemuan singkat itu, sempat terpikir olehnya menanyakan nama si gadis? Pertemuan pertama adalah moment membekasnya kesan dan keinginan untuk mengubah pandangan si gadis, pertemuan kedua adalah moment untuk mengajarkan si gadis(yang menurutnya hanya suatu omong kosong panjang lebar tanpa isi) arti kebersamaan, dan terakhir adalah moment perpisahan. Cukup singkat.
Satu sesalku adalah tak mengistimewakan peristiwa yang mengubahku, apakah aku harus menunggu lagi, ah….cukup, menunggu tak membuatku mendapatkan apapun. Hah …..apa yang harus kulakukan, sebenarnya cukup singkat, aku hanya ingin mengajaknya memandang aurora, merasakan indahnya, itu saja…apa aku bisa membawanya untuk menyaksikan aurora ini, ataukah aku bisa membawakan aurora untuknya, konyol….
&&&
Mencarinya??konyol. Siapa Paman itu?, jauh di luar sana, mana mungkin aku bisa mencapainya. Hei ..apa ini, suasana ini, hangat ini, hal nyaman, dan ada yang lain di mataku, memang tetap seperti biasa tapi aku bisa rasakan hal lain dengan indra keenamku…pasti instingku, pasti ada lengkungan di langit yang…..
”Mama, itu apa?”
” Itu…..yang mana…?”
”Itu lho, yang warna-warni di atas….”
”Oh….itu pelangi, cantik kan? ”
”Ma, ambilkan….bisa dibawa pulang kan?”
”Tidak sayang, pelangi itu jauh sekali, Mama tidak mungkin bisa mengambilnya, kerena pelangi bukan cuma untuk kita, tapi untuk semua orang.”
”Oh,….Tapi aku ingin itu Ma….”
”  Nina sayang, kamu bisa kok jadi pelangi yang cantik seperti itu, ….”
”Gimana caranya Ma?”
” Kamu harus jadi pelangi untuk semua orang, pelangi itu membuat semua tersenyum kan? Jadi kamu juga harus buat semua tersenyum…Nina mau kan jadi pelangi?”
”Mau Ma….”
Paman pasti juga menyukai pelangi seperti aku, karena dia yang mengenalkanku pada pelangi saat pertemuan ke dua. Ia juga bilang di pertemuan ke tiga kalau ada yang lebih indah dari pelangi, namanya apa ya…..ah…kalau pelangi saja bisa kurasakan begitu indah, dan kata ibu dan anak itu bisa membuat tersenyum, pasti ”sesuatu” itu bisa membuat semua orang bahagia, bukan hanya tersenyum…aku jadi ingin lihat, tapi itu kan….Cuma ada di luar, jauuuuuh sekali. Aku ingin jadi ”sesuatu” itu buat Paman, walaupun aku ga bisa ketemu paman, tapi aku bisa terus mengingatnya. ”Sesuatu” itu kan pasti bisa buat semua orang bahagia, jadi aku akan membuat semua orang tersenyum penuh kebahagiaan, bagaimana pun caranya…..benar. Itu yang harus kulakukan…akhirnya aku temukan juga, Terima kasih.
&&&
Terima Kasih, aku  akan berusaha menemukan yang terbaik. Aku ingat, gadis yang penyendiri, tak tahu artinya teman, apakah semua anak yang agal berbeda seperti gadis itu selalu merasakan hal yang sama. Alangkah malang, justru penderitaan itu muncul bukan dari apa yang mereka miliki, tapi dari apa yang mereka pikirkan. Alangkah malangnya, mungkin mereka memerlukan suatu pencerahan yang memberi kesan untuk sedikit memaknai hidup. Ah ……aku tahu sekarang, ….
&&&
Di belahan yang berbeda, terbitlah ah… muncullah hiasan di langit, dua bentuk aurora paling indah yang menakjubkan, saling mempersembahkan keindahan demi karunia yang didapatkan. Satu belahan bumi terbit aurora yang mengenalkan arti sebuah kebahagiaan untuk semua orang, satu belahan bumi terdapat lembaga, dimana anugerah-anugerah yang merasa kurang sempurna berkumpul, dengan bimbingan dan pencerahan yang penuh kelembutan, mengajarkan mereka arti hidup dan cara memaknai hidup tan pa merasa berbeda dengan yang lain. Bright Miracle of Aurora, lembaga yang didirikan oleh seseorang, ingin mempersembahkan hiasan terindah di langit, Aurora, kepada gadis kecil yang mampu mengubah pandangan hidupnya…

Tidak ada komentar: