Senin, 08 Oktober 2012

My Short Story : Pelita Cinta Terbias Seirama





“Cobalah saling melengkapi…”. Itu pesan ibu yang terakhir, sebelum beliau menuju taman indah itu, dan tak berniat menapakkan kakinya lagi, menemani kami. Tapi bagaimana bisa ? Apa yang kumiliki, ia pasti punya, segala yang kubisa, dia pasti sanggup, apa yang dapat kuraih, dia pasti mampu meraihnya…terkadang memang menyenangkan, tapi sering menyebalkan. Memang sewajarnya, orang yang terlahir bersama memiliki kesamaan, orang-orang yang memandang pasti kagum, tapi pihak yang dipandang, entahlah…Untuk sekilas, tak ada yang bisa menganalisis siapa kakak dan adik, yang jelas dilihat mendetail pun tak ada yang bisa memungkiri bahwa kami memang identik.
Muhammad Arham Syahfariz, berwibawa, manis, kocak, baik dan berbakat. Semua orang mencintainya, segan, dan bangga, namun satu yang mulai merasa tak nyaman di dekatnya, yang serupa dengannya, kerap menyisakan kerak di hatinya, bukan orang lain, hanya makhluk yang pernah menjadi bagian darinya, pernah menyatu dengannya, Muhammad Arfan Hanafi…kurang lebih memiliki karakter sepertinya.
Pendiam bukanlah tabiatku, agaknya ia tahu…atau mungkin malah merasakan, muncul 3 pilihan di benakku, pertama mencurahkan isi hatiku padanya, kedua mengadakan rapat dadakan malam sabtu, dan menuliskan masalah ini pada agenda utamanya, terakhir membiarkan rasa dan karsaku lenyap tergerus pikiran bodoh ini. satu….terlalu jujur dan terbuka, dua…merepotkan pihak yang sudah lelah mengurus masalah lain yang justru lebih penting, tiga…untuk apa menyiksa diri. Lima, Empat, Tiga…Satu……DUA, aku pilih yang kedua, lebih efektif dan efisien, sedikit merugikan pihak lain, namun meminimaliskan efek samping. OK.
Agaknya ia mulai curiga melihat lirikanku yang aneh, senyumanku yang penuh arti hitam, dan gelagatku yang menjengkelkan. Tak tahan ia bertanya
“ Dik, aneh sekali kau hari ini…….”
“ Perhatian sekali Kakak, eh…”
“Hm…, apa?”
“ Malam Sabtu ada rapat dadakan, ada masalah genting.”
“Siapa yang putuskan? Apa topiknya?”
“Ya aku lah. Wajib datang !!”
***
Sungguh tak biasa, bintangku tak muncul menghiasi dunia lebar di atas sana, padahal hanya dia yang kuandalkan, apa mungkin ia jenuh, atau merasa lemah, hingga pijarnya tak lagi bisa menembus kepulan asap yang menyesakkan baginya, atau bagiku, mungkin juga bagi kakak. Paman mendatangi bapak lagi, tak pernah bosan, tujuannya memang mulia, aku salut. Paman Iqbal memang perhatian, ia tak mau hanya ia yang menapak di jalan halus yang penuh kehidupan itu, ia ingin mengajak kami bertiga. Yakin bahwa bapak akan berhasil di kota sana, yakin akan kehidupan kami yang akan membaik. Dan lagi, bintang itu meredup saat kubuka mataku, bapak menolaknya dengan alasan berdasar cinta, cinta akan tanah kelahiran, cinta pada ibu dan segala indah kenangan, sekali lagi paman tak menyerah.
Aku ingin menegur bapak namun tak sampai, memandang keras perjuangannya, menilai tulus cintanya, merasakan sejuk kasihnya, yang bisa kulakukan hanya…
“ Paman datang lagi Pak?”
“ Ya, sungguh bulat tekadnya itu, Bapak jadi tak enak.”
“Kenapa Bapak selalu menolak paman?”
“Kamu kan sudah tahu jawabannya Fan, itu alasan yang kuat.”
“ Tapi kita bisa lebih baik kalau ikut paman.”
“ Secara materi mungkin, tapi secara nurani, Bapak tak yakin.”
“ Baiklah.”
Aku sendiri yang menutup tukar kata yang ringkas namun berkesan itu, diam jadi pilihan utama, tak ada yang bisa dikatakan dari seorang anak yang yakin akan cinta orang yang ia cintai, yang mampu menutup rasa sesal itu. Sesal yang membuat hidup kami terkadang terasa berat padahal ada yang bisa meringankan.
***
Tiga kursi tertata sedemikian rupa, bohlam 5 watt di tengah ruangan melancarkan jalannya rapat dadakan, sinar bulan yang menembus dinding transparan berbingkai kayu itu menambah nyaman. Agenda pertama, ini saatnya, aku membuka mulut, semua mata tertuju padaku. Kuutarakan masalahku. Kumulai dengan sikap dan perhatian orang-orang pada kakak dan aku, respons mereka terhadap keidentikan kami, rasa acuhku yang tak bisa kupertahankan, dan rasa jenuh karena selalu dibanding-bandingkan, terakhir dengan pesan ibu yang terakhir itu.. Kakak juga merasakan hal yang sama denganku, hanya saja ia lebih pandai menyembunyikannya. Tinggal respons bapak yang kutunggu.
“ Bapak mengerti, tapi cukuplah kalian seperti sekarang, tak usah neko-neko, biar hidup berjalan dengan lancar.”
“Bagaimana bisa Pak? Kami sudah cukup bersabar menghadapi orang-orang itu, tetap saja kami merasa tak nyaman kalau begini terus,”giliran kakak yang angkat bicara.
“Kembar memang kembar, tapi tak harus disamakan seperti ini.”
“lalu apa yang akan kalian lakukan?mengubah diri kalian agar terlihat berbeda, walaupun sampai menghilangkan jati diri kalian?”
“ Bagaimana lagi Pak?”
“Ah… kalian kan sudah dewasa, setiap orang punya jalan pikiran tersendiri, termasuk orang yang terlahir identik.”
“Aku tak mengerti Pak?”
“Ya sudah …tunggu sampai waktunya tiba.”
Sampai jam 10 malam, rapat bubar, aku dan kakak masih bingung pada jawaban Bapak, aku tak mengerti sama sekali, harus menunggu waktu yang tepat, kapan waktu itu tiba? Apa yang harus kulakukan sampai waktu itu tiba? Ah…berat sekali…
“Dik, apa yang kau pikirkan?”
“Memangnya apa menurut Kakak?”
“Pasti nasihat bapak kan?”
“Hm… Kakak mengerti?”
“ Entahlah,..tapi suatu saat kita akan mengerti.”
“Kakak kan yang lebih tua, seharusnya tahu lebih banyak.”
“Hei, Kakak Cuma lahir 5 menit lebih dulu darimu…”
“Ya…eh..Kak, kenapa ya kita bisa sama?”
“Tanya saja pada dirimu sendiri! Kenapa kita tidak berbeda?”
“Bisakah kita buat diri kita berbeda, untuk saling melengkapi ?”
“Maksudmu?”
“Yah…mengubah diri kita agar tidak banyak kesamaan.”
“Tentu saja bisa, tapi kau dengar bapak melarang kita tadi?”
“Sedikit berubah tak apa, lagipula ini kan demi amanat ibu?”
“Bagaimana ya…”
“Apa Kakak masih bisa tahan kalau kita dibanding-bandingkan lagi? Apa Kakak belum bosan?”
“Entahlah…..”
“Ah…kata itu lagi, Kakak ini harusnya tegas, kita sudah dewasa, sudah hampir meninggalkan pakaian putih abu-abu itu, kita harus bisa bertindak, ga’ Cuma menunggu waktu..”
“Hm…”
“Tanggapan macam apa itu, dimana wibawa Kakak?”
Aku mulai marah, kesal karena dianggap remeh oleh kakak, kesal karena ia tak mau membantuku.
“Ya…Ok.”
“Apa maksud Kakak?”
“Ya…Okelah.”
***
Kami benar-benar melakukannya. Sedikit tak nyaman memang, tapi mungkin saja bisa berakibat baik bagi perasaan kami. Seruling bambu itu, sudah tua, makin halus karena sering disentuh, tapi mulai usang, debu-debu tak segan lagi untuk menempel, atau mungkin malah sudah menutup fentilasinya, tapi tetap kami simpan di tempat yang menurut kami cukup terhormat, disamping foto ibu, di lemari bagian atas.
Hadiah ulang tahun dari bapak untuk kami berdua di ulang tahun yang ketujuh, entah bisa dibilang ulang tahun atau bukan, bapak dan ibu lupa mencatat tanggal kelahiran kami, ah…bukan lupa, tapi memang waktu kami lahir belum banyak orang menggunakan kalender di desa terpencil ini, waktu hanya berdasarkan posisi bulan, bagaimana dengan akte? Bapak hanya asal, menurut apa yang diberi tahu paman, tapi sama sekali Bapak tak memperhatikan deretan angka itu, baginya alamlah yang menjadi tanda, bukan hitungan yang dipikirkan manusia dan inilah maknanya, kami lahir tepat bulan separuh yang terapit gugusan- gugusan bintang membentuk sungai langit, panjang, terang, menuju lembah cahaya…indahnya saat itu, mewah sekali iringan-iringan yang merayakan kelahiran kami, sambutan alam yang takkan bisa terlupakan. Setahun menjelang, saat panorama itu terlukis lagi di langit, selesailah seruling bambu itu, kokoh dan eksotik, walaupun polos tanpa hiasan, satu untuk berdua.
Saat kecil, aku dan Kakak memainkannya secara bergantian, menirukan setiap rangkaian nada yang singgah di indra pendengar kami, semakin sering nada-nada itu menjadi bagian dari hidup kami, nada-nada lembut, klasik, tak berlebihan. Itulah aliran musik kami, aliran baru yang kami sepakati, jazzy slow pop.
Berdasarkan hasil diskusi singkat dengan kakak tadi malam, kakak membagi pola kebiasaan-kebiasaan kami, bagian mana yang harus mengalami perubahan. Salah satunya adalah aliran ini…
“Bukankah aku yang mencetuskan aliran itu ?”
“Tapi yang mengajari Adik musik-musik itu kan Kakak.”
“Tetap tidak bisa, aku yang berperan membuat sejarah aliran itu, aku yang rajin meraba-raba musik-musik yang Kakak gemari itu…”
“Tetap saja Kakak yang berperan utama memperjuangkan aliran itu Kakak, Kakaklah pemimpinnya.”
“Aliran yang beranggotakan dua orang tak perlu pemimpin, lagi pula ada apa dengan aliran ini sampai Kakak harus memperjuangkannya?”
“ Tapi tetap saja Kakak yang berhak bertahan, Kau…ganti!”
“Jangan seenaknya begitu, walaupun Kakak melarangku, aku tak mau ganti aliran, mengerti?”
“Tapi…”
“Titik habis.”
“Hei…”
“Stop”
“Baik, aliran ini pengecualian…”
“Bijaksana, …”
Dan begitulah, kami tak pernah mencapai kesatuan, setiap hal yang Kakak pilih, berat kutinggalkan, setiap hal yang kupilih, Kakak tak mau menurutinya, setiap hal…aku menyerah…Kami mainkan seruling itu bergantian, irama lagu…sendu, bimbang, hilang…
***
Suara berderit gerendel pintu tua yang mulai lapuk itu, merusak lamunanku, aku tersadar, mendengar suara lain yang mulai membuatku terbiasa, hembusan nafas yang sesak, tertahan pahitnya hidup, udara sulit ia hirup dan hembuskan, Bapak terserang astma, akhir-akhir ini ia paksakan bekerja larut, tanggal tua, order almari sepi, terpaksa bapak merangkap sebagai buruh tani.
Aku menegur Bapak, seandainya kami pindah ke kota, pasti tidak akan kesulitan kalau hanya sekedar menghilangkan penyakit penambah penderitaan. Seperti biasa, Bapak bersikap tenang, jawabannya masih sama, cinta. Bapak adalah orang desa asli yang terkesan idealis dan polos, namun beliau sangat menghargai arti sebuah anugerah, dalam nurani, beliau selalu berfikiran matang, tuturnya dalam, kata-katanya mengena.
Bapak mencoba menabahkan kami, sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu pada bapak, tentang nasihatnya pada rapat lalu.
“Sudah Bapak bilang, tak usah neko-neko , sudah berapa lama kalian mencari perbedaan seperti yang kalian pikirkan itu?apa hasilnya? Tak ada bukan? Tunggu saja kalian pasti menemukannya, kalian memang harus ikhtiyar, tapi masih banyak hal lain yang lebih berarti yang harus kalian sentuh…”
Bapak benar, banyak waktu yang tersita untuk menunaikan niat mencari perbedaan, padahal hasilnya nol. Aku baru sadar, aku dan kakak  kurang memperhatikan bapak, kami tak lagi menjaganya, membantu pekerjaannya, atau sekedar menemaninya minum teh hangat, kini saat bapak sakit, aku malah membiasakan diri akan suara-suara yang keluar sebagai tanda derita yang kian bertambah,…Sudahlah aku hentikan niatku itu. Niat yang menjauhkanku pada orang yang sangat kusayangi, aku terlalu egois, aku salah langkah, seharusnya aku dengarkan bapak yang menyuruh kami menunggu, tak kan mungkin ada orang yang memiliki jalan pikiran dan kepribadian yang sama, atau minimal cara menafsirkan hal yang dirasakan setiap orang pasti berbeda. Aku salah langkah, tak heran bintang itu redup, tak heran sungai langit kian dangkal, mereka kecawa telah merayakan kelahiranku…
“Maafkan kami Pak.”
“Apa yang kau katakan? Tak ada yang perlu dimaafkan, bapak hanya orang desa, bapak tak tahu apa-apa tentang keadaan di luar sana, bapak tak mengerti hidup anak-anak seusia kalian, bapak tak pernah sekolah, yang bapak tahu hanya…bapak ingin kalian tak seperti bapak yang tak tahu apa-apa, bapak ingin setiap waktu kalian berarti.”
“Pak, kami salah langkah, kami terlalu memikirkan perasaan kami sendiri.”
“Biarlah, sungguh merupakan anugerah mempunyai putra serupa, bapak ingin kalian menerima diri kalian apa adanya, dan menerima cinta tulus dari orang-orang di sekitar kalian. Hm…mengerti?”
“Ya, kami mengerti. Tapi apakah semua orang mencintai kami seperti Bapak?”
“Menurutmu, apa itu mencintai?”
Kami tak tahu, Bagi kami segala yang bapak curahkan adalah cinta, segalanya…dan kami yakin bapak mencintai kami, tapi apa itu mencintai?
***
Kufikirkan hal ini kapan saja dan dimana saja, aneh memang, tak bisa mendefinisikan sesuatu yang kita rasakan, padahal sesuatu itu begitu jelas, nyata, dan dekat. Lagi-lagi aku mengulangi kebiasaanku, melamun memikirkan hal-hal yang mengganjal perasaan dan tak lalai menikmati secangkir teh jahe ditemani bulan purnama. Di bawah pohon kelengkeng aku duduk dengan nyaman, semilir angin tak mampu mengusik kegiatanku, tapi salam dari Paman Iqbal mampu.
Setiap kali paman datang, kakaklah yang selalu menyambut paling ramah, namun tak pernah kulihat kakak membahas tolakan bapak yang kesekian kali pada ajakan bahagia paman. Ini juga menjadi salah satu hal yang tak kumengerti, aku ingin menanyakannya, tapi tak pernah sempat, akhirnya aku tanyakan saja pada bapak. Ternyata benar, kakak tak pernah menyinggung hal itu, ia memilih diam, aku sayangkan sikap kakak yang kurang bijaksana kali ini. bukankah pindah ke kota akan membawa kebaikan. bukankah itu yang harus kita berikan pada orang yang kita cinta dan oh…aku mengerti, apa itu mencintai?mencintai adalah memberikan yang terbaik untuk yang tercinta.
Aku meneguk teh jahe kesukaanku penuh perasaan, aku ingin menikmati sensasi tetesan terakhir dari gelas usang ini, kulihat pemandangan seperti biasa, paman keluar dengan wajah muram sudah kuduga jawaban bapak, TIDAK. Lagi-lagi aku mulai terbiasa, aku masuk ke dalam memberi tahu bapak kalau aku sudah menemukan jawabannya.
Bapak mengulaskan senyum gembira, ada yang aneh…
“Mengapa Bapak tersenyum?”
“Pamanmu, ini yang terakhir ia membujuk bapak, mungkin sudah mulai lelah, tapi bapak kasihan juga.”
Kakak muncul dari balik tirai
“Paman itu sungguh baik ya…?”
“Benar, mulia sekali.”
Aku bingung,”Lalu mengapa Bapak berkali-kali menolak Paman dengan alasan yang sama?”
“Karena ada yang jauh lebih berharga dari itu semua.”
“Sudahlah Fan, itu sudah keputusan Bapak.”
“Kakak ini bagaimana? Apa Kakak tak mengerti perubahan yang akan terjadi pada hidup kita kalau pindah ke kota, pasti akan jauh lebih baik.”
“Kakak mengerti, tapi apa artinya semua itu kalau Bapak tidak bahagia?tak hanya materi yang membuat indah di dunia ini.”
“Bukankah kita selalu bersama?kita pasti akan bahagia kalau kita melakukan yang terbaik dalam hidup.”
“Kebahagiaan itu tak dapat diukur dengan besaran apapun”, termasuk kata terbaik.”
“Cukup. Apa kalian berdua menyayangi Bapak?”
“Tentu saja, sangat.”
“Tak perlu diragukan lagi, memang ada apa Pak”
“Itulah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kalian.”
“Maksud Bapak?”
“ Kalian telah dewasa, kalian telah menemukan perbedaan jalan pikiran masing-masing tentang arti cinta, tentang cara mencintai, dengan memberikan yang terbaik atau membuat yang tercinta bahagia, satukanlah keduanya, dan kau telah penuhi pinta ibundamu.”
***
Merdunya seruling bambu yang semakin halus, debu tak lagi menyumbat lubang-lubang udara yang menjadi sumber suatu ketentraman, menyambut dan merayakan lukisan alam yang terulang tepat yang ke tujuh belas kalinya, sungai langit mengalir menuju lembah cahaya, membawa pesan dari kami untuk membalas pesan terdahulu, kami telah saling melengkapi, melalui arti cinta yang kami yakini.

Tidak ada komentar: