“ Dia membenciku……,” sebenarnya aku tak ingin mengatakannya meski dalam hati, tapi apa yang aku rasakan selama ini sudah terasa berat. Apa yang menyebabkannya seperti itu ? semua terjadi begitu saja, aku tak berani menanyakannya, takut akan menambah beban hidupnya, lagi pula aku mencoba sabar karena itu memang kewajibanku. Tapi kenapa harus aku ? kenapa bukan orang lain yang ia benci ?
“ Dik, Adik lihat Dik Nia ?“ Ia memanggilku,
berbeda sekali dengan caranya menyebut Nia, adik bungsuku yang masih
duduk di bangku Sekolah Dasar tahun ke tiga.
“ Tadi Dik Nia pamit ke warung Bu Siti, memangnya ada apa Bang Fahran mencari Dik Nia ?”
“Oh…Abang hanya menyuruh Dik Nia ke rumah Anang.”
“Cerpen Abang sudah selesai…..biar Naf saja yang mengantarkannya.”
“Tidak usah, Adik kan sedang sibuk. Biar Abang menunggu Dik Nia saja, mungkin sebentar lagi pulang.”
“Sudahlah Bang, biar Naf saja, biasanya kan Dik Nia main dulu dengan Fifi, pulangnya sore-sorean”
“………”
Abang menyerahkan kertas-kertas itu padaku,
aku menunggu beberapa saat, namun frase itu tak ia ucapkan, aku beranjak
pergi, dalam hati aku kecewa sudah kurelakan pekerjaanku tertunda,
namun sekedar ucapan terima kasih pun tak ada. Tak apalah mungkin nanti,
besok atau kapan-kapan, aku akan menunggunya…. Sebenarnya aku heran
pada Bang Fahran, mengapa ia lebih memilih Anang sebagai pembaca pertama
setiap tulisannya, bukan aku,..adiknya sendiri. Biar, seiring waktu
pasti aku akan tahu apa penyebabnya.
***
Malam yang dingin, jalanan yang sepi,
tanah-tanah yang lembab, dan bulan yang bersembunyi. Tepat pukul 19.30
aku membuka gerendel gerbang depan rumah. Dengan baju setengah basah,
aku menahan udara yang menusuk tulang,
“Assalam mu Alaikum……”
“Wa’alaikum Salam, tunggu sebentar!”kudengar Ibu menyahut. Tak seberapa lama, pintu depan terbuka.
“Nafisa,…Ya Allah, kamu kenapa terlambat pulang ?Ayo cepat masuk, baju mu juga basah, kenapa tidak bawa payung?”
“Pekerjaanku menumpuk Bu, malah niatnya mau lembur, Bang Fahran sama Dik Nia mana Bu?.”
“Abangmu sedang menulis, Nia malah sudah tidur. Cepat kamu keringkan badanmu! biar Ibu siapkan air panas.”
“Ya Bu..”
Setelah mandi dan merasa nyaman, aku kembali ke ruang tamu, ada Ibu dan Abang sedang bercakap-cakap.
“ Naf, ayo kemari, Ibu sudah membuatkanmu teh hangat.”
“Terima kasih ya Bu.”
“Naf, kamu itu kalau bekerja jangan terlalu dipaksakan, jaga kondisi badan kamu juga!”
“Yah…semua itu kan usaha Bu, Naf benar-benar ingin kuliah.”
Abang hanya diam, aku melihat ada yang aneh
di wajahnya, ia tampak datar, namun seperti ada yang dipaksakan. Tak ada
tanda-tanda Ia akan menunjukkan perasaan iba atau simpati padaku,
biarlah….mungkin nanti, besok, atau kapan-kapan.
***
Pekerjaan yang menumpuk, aku lelah.
Berjam-jam aku menghadapi computer lawas ini, namun ada saja
laporan-laporan yang tak kumengerti. Aku mencoba memfokuskan
perhatianku, mencoba konsentrasi, namun tak bisa, aku menyerah, aku
merasa suntuk. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan sedikit
pendapatan. Aku mencoba meniti karir dari dasar, setapak demi setapak,
dan sampai menjadi seperti ini, semua untuk satu harapan, melanjutkan
kuliah. Sekarang tinggal menanti waktu saja……
Aku beranjak menuju jendela, yah….sekedar
menjernihkan pikiran, aku suntuk. Aku ingin melihat-lihat taman bunga.
Bunga-bunga itu sedang bersuka-cita, mendapat perhatian dari seorang
lelaki yang lembut dan baik hati, seandainya akulah yang menjadi bunga
itu,….dan itu tak mungkin. Meski memiliki kelemahan dalam system
geraknya, Abang tak pernah mau tinggal diam, di sela-sela kesibukannya
menulis, Ia menyempatkan diri berkebun. Tak heran, bila Abang tak pernah
kehilangan ide untuk menulis, berjuta inspirasi di sela-sela pesona ia
dapatkan di sana. Dan di antara untaian pesona itu, ada satu bunga yang
sangat Ia jaga, sangat Ia pelihara, bahkan sampai layu pun tak ada yang
boleh menyentuhnya, katanya ingin dipersembahkan kepada orang terkasih.
Insan yang menerima cinta terindah dari hatinya, insan yang mencerminkan
bunga…..White Moon Orchid.
Dari jendela kulihat Abang berusaha
menjangkau setangkai mawar putih mungkin ingin Ia persembah kan untuk
Ibu, begitulah kebiasaan Abangku setiap pagi. Kami bertemu pandang, aku
mencoba melayangkan seberkas senyum untuknya, tapi Ia diam, datar.
Lagi-lagi aku kecewa.
Lalu kulihat Nia menghampirinya, memberikan
gunting, spontan, tanpa ditunggu, frase yang sangat kudamba meluncur,
“Terima kasih.”senyum pun ia persembahkan semanis mungkin, tapi bukan
untukku. Aku hanya bisa menghela nafas.
***
Sudah kucoba menuangkan segenap perasaanku,
berusaha keras mencurahkan ide-ideku, selalu saja gagal. Aku ingin
seperti Abang, menjadi penulis yang handal, hasil karyanya dimuat di
manap-mana, setiap kali aku mencoba menulis, hasilnya aku serahkan pada
Abang untuk direvisi, tapi setiap kali pula de ujung bawah ada
tambahan…”Kurang satu kata”…aku koreksi lagi, di benakku karya itu sudah
sempurna, aku menanyakannya pada Abang, namun Ia selalu diam.
Ini sekian kalinya aku menyetorkan tulisanku
pada Abang, Ia membacanya sekilas, dan tanpa belas kasihan atau sedikit
penghargaan, Ia ambil pena merah, dengan mantap Ia tuliskan kalimat itu
lagi. Lalu kertas ia serahkan padaku, tanpa kata, tanpa ekspresi, dan
beranjak pergi.
Aku ingin marah….aku ingin mrnangis…tapi sudahlah.
***
Aku melirik kembali saldo tabunganku,
berkali-kali aku bersyukur, Tuhan selalu menjawab dan mengabulkan do’a
hambanya yang berusaha. Aku melirik foto almarhum ayah, gagah, tegap,
dan sabar. Ia berpesan agar aku menjaga ibu, abang, dan Nia. Tiba-tiba
aku teringat pada ibu, beberapa hari ini wajahnya tampak murung, entah
mengapa…saat aku sedang berfikir, Beliau memanggilku.
“ Naf……, Nafisa…..”
“Iya Bu……”
“Kemarilah Nak !”
“ Ada apa Bu? Sepertinya ada hal yang mendesak ?”
“Duduklah Nak, Ibu ingin berbicara hal yang serius Nak.”
“Tentang apa Bu?”
“ Tentang Abangmu.”
“Memangnya ada apa dengan Abang Bu? Apa terjadi sesuatu padanya?”
“Sebenarnya……..ah…Ibu minta maaf bila selalu menghalangi semua cita-citamu, Ibu ……..hanya ingin semua anak Ibu bahagia. Tapi ….”
“Ada apa Bu? Sudah menjadi hal yang semestinya seorang anak berbakti pada orang tua, apalagi untuk Ibunya, katakanlah Bu………”
“Ini bukan persoalan mudah Nak, ini…berkaitan denga cita-cita dan harapanmu………”
“Maksud Ibu?”
“Abangmu…… ingin sekali dapat berjalan. Kami
mendengar dari Pak Haji Ifham, putranya yang lumpuh sejak lahir bisa
disembuhkan dengan pengobatan di luar negeri.”
“…………”
“Pak Haji bersedia mengantar Abangmu, namun
biaya pengobatannya tidak sedikit. Sawah peninggalan Ayahmu saja masih
belum memenuhi biaya pengobatan itu……sehingga…..”
“Ibu memintaku untuk merelakan uang yang
susah payah ku kumpulkan untuk kuliah?” aku memotong kata-kata Ibu,
kuucapkan kata-kata yang membuat mata dan hatiku basah. Aku harus
merelakan harapanku untuk seseorang yang aku tahu, Ia sangat membenciku,
acuh terhadapku, dan tak pernah mau menyebut namaku…..Oh Tuhan….
“Nak, sejak lahir Abangmu sudah menderita,
Ia hanya bisa iri dengan teman-temannya, hanya bisa menangis….kini
ketika ada sebatang lilin dalam hidupnya, maukah kau memercikkan api
agar menjadi terang?”
“Tap….Tapi Bu…..”ini keputusan yang sangat
berat, aku sedang berusaha menahan gemuruh hati yang menandakan adanya
peperangan. Harapan atau kewajiban……
“Ibu mengerti ini sangatlah berat, namun Ibu
mohon………..”Ibu menangis, aku telantarkan amanat ayah, aku anak durhaka,
dan sebelum lebih jauh lagi…………..
“Baiklah Bu, Naf ikhlaskan” aku masuk ke kamar, menahan aliran air yang tak terbendung di pelupuk. Kewajibanlah yang menang.
Malamnya aku tak keluar kamar, sayup-sayup
ku dengar Ibu dan Abang sedang bercakap-cakap, mungkin membicarakan
keberangkatannya. Semoga saja setelah Ia tahu, sikapnya akan berubah
terhadapku, tak membenciku lagi. Semoga…
***
Esok aku membuka mata dengan berat, aku
menuju jendela, menyibakkan tirai, kemudian menghirup udara pagi yang
segar. Kembali kulihat Abang yang sedang menyiram bunga dibantu Nia. Aku
berusaha melayangkan senyum, hendak mengetahui perubahan sikapnya, Ia
menatapku sebentar, lalu menyibukkan diri dengan Nia. Aku
menyesal…..sesal dengan penuh sesal, untuk apa aku mengorbankan
harapanku yang sudah lama kupendam, hanya untuk orang yang semakin
membenciku….
Saat Ia masuk, aku bergegas menemuinya. Aku kendalikan hatiku untuk tidak meluapkan apa yang kurasakan selama ini.
“Bang,…..”
“………”
“Bang Fahran, Naf ingin bicara sebentar.”
“Bicaralah.”
“Kapan Abang akan berangkat ke luar negeri?”
“Bulan depan, memangnya kenapa ?”sahutnya dingin.
Hh…apa tidak terbesit sedikitpun di hatinya,
untuk ……Hh…….Ya Allah bagaimana aku harus menghadapinya, mengapa
seperti ini, mungkin ini saatnya aku meluruskan duduk
perkaranya.…melihatku terdiam, Ia beranjak pergi.
“Bang, tunggu !!…Abang benci ya sama Naf ?”
“Maksudmu?”Bang Fahran mulai bimbang.
“Iya..Abang benci kan sama Naf ?Abang tidak
suka kalau Naf ingin melakukan sesuatu untuk Abang. Yang Abang sayang
cuma Ibu, Dik Nia, dan bunga-bunga itu saja, tapi dengan Naf, Abang
berusaha menganggap angin lalu.”
“Dik………..”
“Bang, jangan menghukum Naf seperti
itu,..Abang seharusnya bilang, kalau Naf memang punya salah atau sikap
Naf yang kurang berkenan,…Abang jangan langsung bersikap dingin
begitu……”
“Adik……”
“Begitu besarkah rasa benci Abang sampai
menyebut nama adik sendiri saja tak mau, begitu membelenggukah sampai
kata terima kasih dan sedikit perhatian pun tak bisa Abang curahkan ?”
“Dik….”
“Abang bisa mengerti perasaan Naf..?”
“Adik, mungkin memang Abang yang salah, tapi
ini semua demi Adik, Abang pikir Adik sudah cukup mengerti dengan sikap
Abang, sehingga tidak akan jadi begini……..”
“Apa maksud Abang?”Aku bertambah gundah, namun aku lega, kata-katanya mulai lunak…
“Selama ini Adik memang begitu baik, Adik
selalu membantu Abang, Adik selalu berbakti pada Abang, Adik tak pernah
menyakiti hati Abang, Adik tak pernah menyusahkan orang lain……..”
“Lalu kenapa Abang membenci Naf ?”
“Adik…..Adik bisa dibilang peri yang
sempurna, kebersihan dan kebaikan hati Adik mencerminkan keindahan, tapi
satu yang belum Abang temukan dalam keindahan itu,………Tulus.”Abang
meninggalkan aku dalam galau yang memuncak, sedih, temaram, luluh, dan
hilang…..
Aku merenungi segala yang ia ucapkan…..Aku
galang iman dan kekuatan hatiku….sampai….kata Tulus. Kini aku mengerti,
apa yang Dik Nia berikan, apa yang mereka curahkan dan yang tak
kumiliki, selama ini aku hanya menanti harapan untuk kembalinya apa yang
kuberikan, selama ini aku hanya berfikir tentang kewajiban, segala yang
aku persembahkan untuk Abang dan orang-orang yang aku sayang,
seberapapun itu, pasti akan terasa hambar. Tanpa adanya satu kata yang
menjadi makna..
Sikap Abang yang dingin dan datar yang
dipaksakan merupakan ungkapan ketulusan yang tertutup, Ia tulus
menyayangiku, dan ingin aku sadar akan segenap pola pikirku. Kini akan
kucurah isi hatiku dalam untaian kata, yang akan kupersembahkan kepada
Abang, aku persembahkan makna kata yang ia nanati selama ini, aku
persembahkan kata yang hilang dari setiap karyaku, satu makna kata
….Tulus……….untuk Abang..
***
Di atas meja berdebu, di samping monitor
lawas, di hadapan foto Ayah……selembar kertas dengan tulisan apa adanya,
ungkapan jujur dari lubuk hati seorang gadis, rapi dan bersih, tinta
merah yang selalu menghiasi tak tampak, digantikan….sekuntum White Moon
Orchids.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar