Aku hidup di dua dunia, satu untuk mereka dan satu untukku. Aku tak
dapat menentukan apakah aku merupakan hasil ciptaan yang memiliki suatu
bentuk ekspresi yang dimiliki ciptaan lain, dimana mereka selalu
mendambakan peristiwa-peristiwa yang menghasilkan ekspresi itu. Karena
aku juga tak memiliki hal yang menjadi syarat utama terlahirnya ekspresi
itu, hal itu abadi, dinanti, dan selalu berarti. Bagiku satu tahun
berada dalam kungkungan sudah menjadi aktivitas yang merupakan
kebiasaan, bahkan mungkin menjadi aneh bila aku tak merasakan
belenggu-belenggu. Semua yang di sekitarku bersama dengan yang di
sekitarku pula, diam dan terus mencari, itulah yang kulakukan selama
ini.
Semua dan hanya berasal dari teknologi visual saja aku bisa mengenal
berbagai sifat dan tabiat manusia, aku mulai meraba-raba untuk
menentukan sebuah kriteria yang akan menjadi bekal sebuah syarat
terdamba. Saat segala cipta, rasa, dan karsa dari semua makhluk yang
tinggal di dunia tempatku menumpang, dunia mereka, mulai merasa nyaman
dengan ketakberadaanku, aku akan terbang ke duniaku….bersama seorang
terdamba hasil imaji harapku yang akan menghadirka ekspresi yang selama
ini tak pernah singgah di hatiku. Bagiku dia sempurna, aku tak kan
memberimya nama, cukup hati dan perannya saja yang kukanal, saat semua
menjauh, dia dekat, saat semua membuat jenuh, dia menghibur, dan dia
selalu ada untukku.
###
Jarum waktu sibuk bergeser, berusaha menjadi seperti pedang yang
mengincar orang-orang pembenci efektivitas. Tapi sayang, itu tak berlaku
untukku karena setiap ia bergeser, seberapa jauhpun, tetap monoton. Aku
tetap sendiri, satu-satunya perkembangan yang terjadi adalah
perkenalanku dengan ”syarat ekspresi terdamba”. Aku meninggalkan mereka
untuk sejenak, aku sedang berlari dalam duniaku, menemuinya, dia sedang
menungguku di tepi lembah…. Ia memandang lurus, dengan senyum yang tak
pernah lepas, sepeda tua yang setia menemaninya berdiri kokoh dengan
sejuta pesona. Saat aku tepat di belakangnya dia seperti merasakan
kehadiranku, menoleh, lagi-lagi senyum itu tak pernah lepas, entah
mengapa secara otodidak aku mendapatkan ekspresi yang selama ini aku
nantikan.
Dia berdiri, menaiki sepedanya lalu membarikan isyarat untuk naik, aku
menurut karena aku tahu itu adalah awal dari sebuah kisah menarik, ia
pasti mengajakku ke negeri impian, hei tunggu …. bukankah duniaku ini
juga Cuma impian ? Impian apalagi, apakah dalam impian masih ada
impian….. yang jelas aku senaaang, senang, senaaang sekali.
###
Satu hal yang paling tidak aku sukai dari ”dunia mereka” adalah aku
dipaksa mengikuti segala aturan mereka, megikuti segala pola pikir
mereka dan segala yang mereka anggap benar.
” Melamun lagi Kaf…?”
” Ah….. Nisa, kamu mengagetkanku. Aku sedang menerawang apa yang akan kulakukan hari ini.”
” Maksudmu ? Bukankah itu sudah jelas, hari ini belajar, membantu ibu, kemudian kita main.”
” Itu tidak jelas, maksudku apa yang berbeda dari hari kemarin. Kenapa kita hidup harus selalu seperti itu ?”
” Seperti apa ?”
” Yang kau bilang tadi, belajar, bantu ibu, lalu main. Kenapa setiap hari itu…. terus, selalu begitu.”
” Itu memang sudah sewajarnya kan ? Hellow Kafka….. jangan berpikir seperti anak kecil, rok mu sudah abu-abu…”
” Memangnya yang aku tanyakan itu seperti anak kecil ?”
” Sudahlah…. Kapan kau berhenti bersikap seperti ini ? Semua menganggapmu aneh,…. ”
” Tidak semua, kamu tidak kan…”
” Sebentar lagi iya…”
” Ya sudahlah.”
” Sudah…”
Dia termasuk dalam ”mereka”, sebenarnya siapa yang salah ? aku atau
mereka ? Aku salah karena tak bisa menyatu dengan mereka, dunia mereka
luas… yang kudapati ini hanya sebagian, apa belahan lain juga seperti
ini ?
###
Dari balik semak, perlahan aku melihat kilasan cahaya. Aku bisa
mendengar kepak sayap kupu-kupu, lalu kecipak ikan yang membelah sungai,
dari kejauhan tampak baju putih kusam namun selalu tegap, di samping
sepeda tua. Aku tahu, ini ”duniaku”……..
Kami berjalan di sela-sela pohon mahoni yang hijau dan coklat, dimana
setiap ada langkah mereka iringi dengan guguran warna-warna. Dia bilang
akan menunjukkan sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku sadari
ia lebih diam dari sebelumnya, namun senyum itu tetap dijaga. Aku tahu,
dialah yang terbaik.
Aku tak percaya dengan yang kulihat, semua begitu nyata, ”duniaku” dan
”dunia mereka” beradu, tapi semua tak menyadari kehadiran kami, hanya
aku takjub melihat sisi lain dari ”dunia mereka”. Karena yang biasanya
kulihat, hidup monoton penuh egoisme, kini berganti dengan pesona jiwa
yang sangat hangat, dimana aura-aura keindahan terpancar dari dalam diri
semua individu, aku… untuk yang kedua kalinya memperoleh ekspresi itu,
walau kusadari itu hanya terjadi dalam ”duniaku”, mimpi dalam mimpi..
Sungguh satu-satunya inginku hanya tinggal disini, tapi entahlah ”dia”
tak mengizinkanku, aku tahu semua yang ”dia” katakan, rasakan, dan
lakukan adalah kebaikan.
” Kafka, apa yang kau rasakan ?”
” Aku,….”
” Katakan saja……..”
” Indah…”
” Lalu ?”
” Nyaman….”
” Apa lagi ?”
” ……….”
’Dia’ menengokku, sikapnya penuh kedewasaan, aku…… ingin mengatakan sesuatu, tapi jauh….jauh sekali dari jangkauan lingualku.
” Aku…..”
”……………………………”
” Bahagia.”
Senyum-nya, lebih indah dari biasanya sampai kapanpun aku takkan pernah
lupa, kata itu, mungkin aku bisa katakan dengan lancar dalam hatiku,
tapi untuk mengucapkannya secara lisan, jujur aku belum pernah.
” Aku sudah membawamu sejauh ini, aku tak ingin kamu kecewa dengan hidup
secara berbeda di dunia yang berbeda, aku tak ingin membawamu pergi
dari duniamu………”
” Tapi ini duniaku……..”
” Bukan, itu duniamu, bersama mereka….”
” Aku bukan bagian dari mereka, aku ingin disini…..”
” Takdirmu menjadi bagian dari mereka, Kau tahu, kau sangat sangat
beruntung. Kau tinggal di dunia yang lebih indah dari ini, kau hanya
belum menyadari, apa yang kau lihat itu adalah kenyataan yang tak pernah
kau pikirkan, kau bisa membuatnya benar-benar ada dengan pola pikirmu.”
”Aku……tak mengerti.”
” Kau pasti mengerti, dengan intuisimu kau bisa sampai kesini, membuatku
tak henti tersenyum, dan dengan itu pula kau akan menemukan duniamu di
sela irisan ”dunia mereka”…..sekarang saatnya kau memulainya, aku akan
menemanimu, tapi tidak disini…….”
Untuk pertama kalinya ”dia” menyentuhku, membelai rambutku, hanya sekali
namun disertai senyum terindah, kemudian ”ia” lenyap. Aku hanya
membisu, apanya yang menemani…………
###
Sekarang aku akan mengucapkan selamat tinggal pada ekspresi itu, aku
belum bisa menerima lenyapnya ”dia” dan ”duniaku”, aku belum bisa
menerima ”dunia mereka” sebagai ”duniaku”. Aku Cuma punya satu alasan
mengapa aku terus bertahan di dunia ini, Aizan adikku, yang tak pernah
merasakan ”dunia mereka” , semua orang mengira dia mengalami gangguan
mental, semua mengira ia hina, ia berbeda dengan mereka, ia rendah.
Padahal mereka tak tahu, aku menemukan ”duniaku” dari dia, aku bertemu
dengan ”dia” juga dari dia. Aku mengerti pembicaraanya, aku tahu saat ia
berkata-kata, ia sedang berada dalam ”duniaku”, ia sedang berada disana
sangaaat lama, ”dia” mengizinkan adikku untuk tinggal disana, sedangkan
aku hanya boleh singgah sebentar.
Sudah sepuluh tahun umurnya, halaman itu adalah tempat tumbuhnya. Aku
melarang ayah mengirimnya ke tempat ”orang-orang berbeda”, dijauhi semua
orang. Entahlah darimana beliau dapat pikiran semacam itu, apa beliau
sudah terkontaminasi ”mereka”, ibu juga sudah tidak menghiraukan kami,
sibuk dengan ”mereka”. Sudah beberapa hari ini adikku diam saja…
” Kaf, sampai kapan kamu mau menunggui adikmu itu ?”
” Ayah, mengapa tanya begitu, tentu saja sampai Aizan sembuh.”
” Mengertilah Nak, dia tidak akan sembuh, dokter seahli apapun tak bisa
mengobatinya, bahkan saat ini dia sudah semakin parah, kalau tiga hari
lagi ia tidak juga sadar dari linglungnya, Ayah sudah mempersiapkan
rumah sakitnya…….”
”Ke…..Kenapa ?”
”Ayah dan Ibu sudah tidak sanggup lagi mengurusinya, Aizan itu juga
membawa aib keluarga, sadarlah….ia juga membuatmu dikucilkan, ia
mengganggu konsentrasi belajarmu.”
” Ayah pikir dengan menambah deritanya, aku akan tenang…… Ayah tahu,
semua orang disini aneh, semua tak punya nurani, semuanya bodoh, ….”
”Kau….lihatlah, semakin lama kau juga semakin aneh, sudahlah kalau tiga
hari ini tidak menunjukkan perubahan, Aizan akan ayah bawa ke rumah
sakit jiwa.”
Lengkap sudah beban hidupku, aku tak punya pelarian, Aizan yang jadi satu-satunya alasanku bertahan disini, akan………
###
Satu yang aku pikirkan adalah tiga hari yang menjadi pintu gerbang
kematian. Hari pertama aku memutuskan untuk merenung, ini memang sudah
menjadi kebiasaanku, namun ini bukanlah yang biasa karena dulu saat aku
merenung, aku ada di ”duniaku”, namun sekarang renunganku adalah
masalah-masalah yang semakin memusingkanku, mana sempat terbesit olehku
dunia itu yang ada hanyalah Aizan….Aizan dan Aizan.
Disini aku tak mempunyai teman, mungkin orang yang kuanggap agak lain
hanyalah Nisa, tapi ia juga sudah terkontaminasi, aku mau minta tolong
pada siapa. Apa ya yang sebaiknya aku lakukan, aduh aku bingung….. namun
tiba-tiba muncul bayangan rumah sakit, ah itu yang justru sangat aku
hindari, dan muncul deru ambulans yang menggila, diiringi
tangisan-tangisan dan teriakan-teriakan, Tuhan aku bingung, kepalaku
mulai sakit, wajah Aizan, ayah, Ibu, Nisa, datang silih berganti, aku
ingin mengobati sakit kepalaku ini, aku coba memusatkan fokus, ah…..
muncul lagi, kali ini jarum-jarum suntik berserakan, teriakan muncul
lagi, ………. Aizan, Aizan……aku ….
###
Aku mencari tempat-tempat yang menyenangkan, mungkin tak ada yang
seperti duniaku, tapi aku bisa jadi lebih tenang, setidaknya aku tak
lagi memikirkan rumah sakit, ataupun ambulans, aku menyesal telah
menghabiskan satu hari hanya dengan gangguan-gangguan yang membuatku tak
sadarkan diri, aku terlalu menganggap rumit hingga aku merasa tertekan.
Tapi kali ini, aku tak kan menyerah, fokus. Aku akan melakukan ritual,
perlahan udara penuh kehidupan memasuki paru-paruku, wangi mawar dan
melati mulai terhirup, kibaran daun beringin mulai terasa, saat mata
terpejam, semua terasa lebih damai, kemudian mencoba meraba-raba,
menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitar, di hadapanku terhampar
sungai jernih….. dengan kecipak riang sebagai obat hati. Awalnya aku
mengira ini adalah ”duniaku”, tapi lama aku perhatikan sekeliling,
ternyata ini memang ”dunia mereka”.
Sebagai kakak yang baik, aku harus tahu apa yang terjadi pada Aizan, dia
memang berbeda, tapi bukankah aku pernah berada di dunia yang sama
dengannya, jadi aku harus……..
Baiklah, aku tahu apa yang akan aku lakukan, pertama-tama aku akan
menghirup udara segar, kemudian memahami keindahan yang telah lama
kuabaikan, kemudian aku akan pulang ke rumah, dan……it is show time
###
Mawar putih setangkai, yang pink dua tangkai, lyly putih tiga tangkai,
dengan selipan anggrek bulan, jika ada aku butuh daffodil … tapi
sudahlah, membuka hati seorang adik yang terpenting adalah hati pemegang
kunci.
” Aizan………sayang, Kakak pulang loh……..Ai…….Izannnnnnnn….”
”………………………..”
” Aizan…………..Aizan………..”
” Dia……. pergi.”
” Pergi ? Ke Taman ? Dengan siapa Bu?”
” Dengan Ayahmu, ke Rumah sakit.”
” Apa… ”
” Karena dia kan kamu sampai pingsan, karena dia mentalmu jadi terganggu, karena dia……….”
” Karena dia, aku bisa membuka mata untuk dunia. Kenapa ayah ingkar janji ? Di rumah sakit mana Aizan?”
” Sudahlah, jangan……”
” Sudahlah, lagi-lagi sudahlah….. Ibu, aku sudah cukup bersabar selama ini, sekarang tolong jawab di rumah sakit mana Aizan?”
”……….”
” Ibu, tolong…………”
” Rumah Sakit Pelita Harapan, dia baru saja berangkat…….”
” Baiklah, tolong do’akan ……”
Air mata, kecewa, bunga yang gugur, kaki yang lunglai, semua menjadi
satu dan semakin menambah kekalutan. Tapi aku tahu, bila terus seperti
ini aku pasti hanya akan mendapat bayangan ambulans, rumah sakit, dan
sebagainya, jadi fokuslah.
###
Akhirnya, dia masih bisa kulihat. Tepat di taman Rumah Sakit Pelita
Harapan, dengan tergesa Ayah menggendongnya. Aku biarkan demikian,
karena aku belum bisa menguasai hatiku sepenuhnya, mungkin esok aku akan
kembali untuk menemuinya, dengan membawa Daffodil. Aku akan menemui
”dia” entah bagaimana caranya, entah itu atas izin dari-nya.
Aku, yang telah mengucapkan selamat tinggal pada ekspresi itu, yang
memendam kemarahan pada-nya karena ”dia” yang mengenalkanku pada
ekspresi itu, hanya membiarkanku mengecap dua kali, kemudian memaksaku
meninggalkannya, yang berbohong padaku, karena nyatanya ”ia” tidak
menemaniku. Tapi ”ia” juga mengizinkanku singgah sebentar di dunia
impian, mengenalkanku pada dunia adikku, menunjukkan sisi indah ”dunia
mereka”.
###
Dan pada tempat yang sama, di bawah pohon beringin sepoi itu, di tepi
sungai transparan itu, aku menemukan Daffodil terindah. Aku bawa ke
taman, aku dapati Aizan merenung, namun bibirnya tertarik ke atas, dan
tatapannya tak sekosong biasanya.
”Aizan……”
” ………….”
” Ini mawar putih, lambang kesucian.”
” …………………….”
”Sama seperti dalam dunia itu, tapi lebih cerah kan? Ini artinya
kesucian akan lebih bermakna kalau ada di dunia yang penuh tantangan
seperti di ’dunia mereka’ .”
” Su…..ci…..”
” Iya, lalu ini mawar pink, coba pegang ! ini lambang cinta dan kasih sayang.”
”…….Cin…”
” Cinta dan sayang, seperti ”Kakak baju putih” itu, sayang sama Aizan…. makanya Aizan sering diajak jalan-jalan…..”
”………..Jalan……Ja……..lan……”
”Dan ini Lyly putih, lambang kejujuran,……..”
” …….Ly…..ly……..ju…….”
” Apa yang kamu lihat disana, juga sama seperti disini…… tidak ada yang berbohong, semua kenyataan.”
Kecuali saat ”dia” berjanji mau menemaniku.
”Yang terakhir adalah ini…….coba lihat….”
”………………..
…………….Da………”
”Tepat, daffodil, kakak tahu ini memang tidak mirip, tapi kakak sendiri loh yang buat, ……”
”……………”
” Ini lambang sebuah misteri, kalau disana, di ”dunia kita” semuanya
terbuka dan jelas melambangkan keindahan, tapi di sini, di ”dunia
mereka”, ada suatu rahasia hidup, sebuah misteri,………….”
” Ra………..ha………”
” Tugas kita disini adalah memecahkan misteri itu. Jadi tolong kamu
kembali ya……. banyak sekali yang harus depecahkan disini, dan setelah
itu, kita akan mendapatkan yang lebih indah.”
”in……….dah……………”
” Iya, dan ’Kakak baju putih’ itu juga akan menemanimu kan, walaupun bukan di sana…………….”
”………………………………………………………………………………..”
” Ai……….zan, Kakak mohon……………………………”
”………………………………………….”
” Ai……………………………………”
Lagi-lagi menetes, padahal sungguh aku tidak mengharapkan. Setidaknya,
tadi malam aku bisa menemui-nya, banyak hal yang ia beritahu, banyak hal
yang kuingat saat di ”duniaku”. Aku ingin Aizan………tapi aku hargai
apapun keputusannya, ia masih anak kecil, yang sebaiknya memang tinggal
di ”dunianya” , ”duniaku” dulu, yang tanpa cela. Aku, terima apapun
keputusannya………..
”Ka………….kak,…………….”
” Ai………………………………..kau memanggilku ?”
Sungguh aku tak bisa mengungkapkannya, dia…..memutuskan
”Kak………..Kaf………………ka…………..”
Senyum terkembang dari bibirnya, tatapannya tak lagi kosong, dia genggam
erat mawar pink itu, bahkan ia meminta Daffodil kertas yang aku buat,
masih membekas tetesan-tetesan itu, menjadi bercak dalam bunga.
” Mis…………………te,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,ri………………”
` ###
Masih di tepi beringin sepoi, sepasang anak manusia, duduk termenung.
Namun bukan tenggelam dalam dunia mereka, hanya mencoba mengimbangi
kejernihan sungai dengan transparansi jiwa mereka. Kerinduan akan ”dia
yang berbaju putih” telah lenyap, karena mereka tahu, ”dia” ada dan
selalu menemani mereka saat transparansi jiwa itu berimbang. Tak ada
lagi ”dunia mereka” , yang ada hanya ”dunia daffodil” dimana mereka akan
tumbuh dan membuat semuanya menjadi ”dunia cahaya” , yang bahkan lebih
mengesankan dari ”duniaku”. Untuk sebuah ekspresi terdamba
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar