Senin, 08 Oktober 2012

My Short Story : Kelana Sepintal Sutra Mencurah Jarum-Jarum Emas

Aku hidup di dua dunia, satu untuk mereka dan satu untukku. Aku tak dapat menentukan apakah aku merupakan hasil ciptaan yang memiliki suatu bentuk ekspresi yang dimiliki ciptaan lain, dimana mereka selalu mendambakan peristiwa-peristiwa yang menghasilkan ekspresi itu. Karena aku juga tak memiliki hal yang menjadi syarat utama terlahirnya ekspresi itu, hal itu abadi, dinanti, dan selalu berarti. Bagiku satu tahun berada dalam kungkungan sudah menjadi aktivitas yang merupakan kebiasaan, bahkan mungkin menjadi aneh bila aku tak merasakan belenggu-belenggu. Semua yang di sekitarku bersama dengan yang di sekitarku pula, diam dan terus mencari, itulah yang kulakukan selama ini.
Semua dan hanya berasal dari teknologi visual saja aku bisa mengenal berbagai sifat dan tabiat manusia, aku mulai meraba-raba untuk menentukan sebuah kriteria yang akan menjadi bekal sebuah syarat terdamba. Saat segala cipta, rasa, dan karsa dari semua makhluk yang tinggal di dunia tempatku menumpang, dunia mereka, mulai merasa nyaman dengan ketakberadaanku, aku akan terbang ke duniaku….bersama seorang terdamba hasil imaji harapku yang akan menghadirka ekspresi yang selama ini tak pernah singgah di hatiku. Bagiku dia sempurna, aku tak kan memberimya nama, cukup hati dan perannya saja yang kukanal, saat semua  menjauh, dia dekat, saat semua membuat jenuh, dia menghibur, dan dia selalu ada untukku.
###
Jarum waktu sibuk bergeser, berusaha menjadi seperti pedang yang mengincar orang-orang pembenci efektivitas. Tapi sayang, itu tak berlaku untukku karena setiap ia bergeser, seberapa jauhpun, tetap monoton. Aku tetap sendiri, satu-satunya perkembangan yang terjadi adalah perkenalanku dengan ”syarat ekspresi terdamba”. Aku meninggalkan mereka untuk sejenak, aku sedang berlari dalam duniaku, menemuinya, dia sedang menungguku di tepi lembah…. Ia memandang lurus, dengan senyum yang tak pernah lepas, sepeda tua yang setia menemaninya berdiri kokoh dengan sejuta pesona. Saat aku tepat di belakangnya dia seperti merasakan kehadiranku, menoleh, lagi-lagi senyum itu tak pernah lepas, entah mengapa secara otodidak aku mendapatkan ekspresi yang selama ini aku nantikan.
Dia berdiri, menaiki sepedanya lalu membarikan isyarat untuk naik, aku menurut karena aku tahu itu adalah awal dari sebuah kisah menarik, ia pasti mengajakku ke negeri impian, hei tunggu …. bukankah duniaku ini juga Cuma impian ? Impian apalagi, apakah dalam impian masih ada impian….. yang jelas aku senaaang, senang, senaaang sekali.
###
Satu hal yang paling tidak aku sukai dari ”dunia mereka” adalah aku dipaksa mengikuti segala aturan mereka, megikuti segala pola pikir mereka dan segala yang mereka anggap benar.
” Melamun lagi Kaf…?”
” Ah….. Nisa, kamu mengagetkanku. Aku sedang menerawang apa yang akan kulakukan hari ini.”
” Maksudmu ? Bukankah itu sudah jelas, hari ini belajar, membantu ibu, kemudian kita main.”
” Itu tidak jelas, maksudku apa yang berbeda dari hari kemarin. Kenapa kita hidup harus selalu seperti itu ?”
” Seperti apa ?”
” Yang kau bilang tadi, belajar, bantu ibu, lalu main. Kenapa setiap hari itu…. terus, selalu begitu.”
” Itu memang sudah sewajarnya kan ? Hellow Kafka….. jangan berpikir seperti anak kecil, rok mu sudah abu-abu…”
” Memangnya yang aku tanyakan itu seperti anak kecil ?”
” Sudahlah…. Kapan kau berhenti bersikap seperti ini ? Semua menganggapmu aneh,…. ”
” Tidak semua, kamu tidak kan…”
” Sebentar lagi iya…”
” Ya sudahlah.”
” Sudah…”
Dia termasuk dalam ”mereka”, sebenarnya siapa yang salah ? aku atau mereka ? Aku salah karena tak bisa menyatu dengan mereka, dunia mereka luas… yang kudapati ini hanya sebagian, apa belahan lain juga seperti ini ?
###
Dari balik semak, perlahan aku melihat kilasan cahaya. Aku bisa mendengar kepak sayap kupu-kupu, lalu kecipak ikan yang membelah sungai, dari kejauhan tampak baju putih kusam namun selalu tegap, di samping sepeda tua. Aku tahu, ini ”duniaku”……..
Kami berjalan di sela-sela pohon mahoni yang hijau dan coklat, dimana setiap ada langkah mereka iringi dengan guguran warna-warna. Dia bilang akan menunjukkan sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku sadari ia lebih diam dari sebelumnya, namun senyum itu tetap dijaga. Aku tahu, dialah yang terbaik.
Aku tak percaya dengan yang kulihat, semua begitu nyata, ”duniaku” dan ”dunia mereka” beradu, tapi semua tak menyadari kehadiran kami, hanya aku takjub melihat sisi lain dari ”dunia mereka”. Karena yang biasanya kulihat, hidup monoton penuh egoisme, kini berganti dengan pesona jiwa yang sangat hangat, dimana aura-aura keindahan terpancar dari dalam diri semua individu, aku… untuk yang kedua kalinya memperoleh ekspresi itu, walau kusadari itu hanya terjadi dalam ”duniaku”, mimpi dalam mimpi..
Sungguh satu-satunya inginku hanya tinggal disini, tapi entahlah ”dia” tak mengizinkanku, aku tahu semua yang ”dia” katakan, rasakan, dan lakukan adalah kebaikan.
” Kafka, apa yang kau rasakan ?”
” Aku,….”
” Katakan saja……..”
” Indah…”
” Lalu ?”
” Nyaman….”
” Apa lagi ?”
” ……….”
’Dia’ menengokku, sikapnya penuh kedewasaan, aku…… ingin mengatakan sesuatu, tapi jauh….jauh sekali dari jangkauan lingualku.
” Aku…..”
”……………………………”
” Bahagia.”
Senyum-nya, lebih indah dari biasanya sampai kapanpun aku takkan pernah lupa, kata itu, mungkin aku bisa katakan dengan lancar dalam hatiku, tapi untuk mengucapkannya secara lisan, jujur aku belum pernah.
” Aku sudah membawamu sejauh ini, aku tak ingin kamu kecewa dengan hidup secara berbeda di dunia yang berbeda, aku tak ingin membawamu pergi dari duniamu………”
” Tapi ini duniaku……..”
” Bukan, itu duniamu, bersama mereka….”
” Aku bukan bagian dari mereka, aku ingin disini…..”
” Takdirmu menjadi bagian dari mereka, Kau tahu, kau sangat sangat beruntung. Kau tinggal di dunia yang lebih indah dari ini, kau hanya belum menyadari, apa yang kau lihat itu adalah kenyataan yang tak pernah kau pikirkan, kau bisa membuatnya benar-benar ada dengan pola pikirmu.”
”Aku……tak mengerti.”
” Kau pasti mengerti, dengan intuisimu kau bisa sampai kesini, membuatku tak henti tersenyum, dan dengan itu pula kau akan menemukan duniamu di sela irisan ”dunia mereka”…..sekarang saatnya kau memulainya, aku akan menemanimu, tapi tidak disini…….”
Untuk pertama kalinya ”dia” menyentuhku, membelai rambutku, hanya sekali namun disertai senyum terindah, kemudian ”ia” lenyap. Aku hanya membisu, apanya yang menemani…………
###
Sekarang aku akan mengucapkan selamat tinggal pada ekspresi itu, aku belum bisa menerima lenyapnya ”dia” dan ”duniaku”, aku belum bisa menerima ”dunia mereka” sebagai ”duniaku”. Aku Cuma punya satu alasan mengapa aku terus bertahan di dunia ini, Aizan adikku, yang tak pernah merasakan ”dunia mereka” , semua orang mengira dia mengalami gangguan mental, semua mengira ia hina, ia berbeda dengan mereka, ia rendah. Padahal mereka tak tahu, aku menemukan ”duniaku” dari dia, aku bertemu dengan ”dia” juga dari dia. Aku mengerti pembicaraanya, aku tahu saat ia berkata-kata, ia sedang berada dalam ”duniaku”, ia sedang berada disana sangaaat lama, ”dia” mengizinkan adikku untuk tinggal disana, sedangkan aku hanya boleh singgah sebentar.
Sudah sepuluh tahun umurnya, halaman itu adalah tempat tumbuhnya. Aku melarang ayah mengirimnya ke tempat ”orang-orang berbeda”, dijauhi semua orang. Entahlah darimana beliau dapat pikiran semacam itu, apa beliau sudah terkontaminasi ”mereka”, ibu juga sudah tidak menghiraukan kami, sibuk dengan ”mereka”. Sudah beberapa hari ini adikku diam saja…
” Kaf, sampai kapan kamu mau menunggui adikmu itu ?”
” Ayah, mengapa tanya begitu, tentu saja sampai Aizan sembuh.”
” Mengertilah Nak, dia tidak akan sembuh, dokter seahli apapun tak bisa mengobatinya, bahkan saat ini dia sudah semakin parah, kalau tiga hari lagi ia tidak juga sadar dari linglungnya, Ayah sudah mempersiapkan rumah sakitnya…….”
”Ke…..Kenapa ?”
”Ayah dan Ibu sudah tidak sanggup lagi mengurusinya, Aizan itu juga membawa aib keluarga, sadarlah….ia juga membuatmu dikucilkan, ia mengganggu konsentrasi belajarmu.”
” Ayah pikir dengan menambah deritanya, aku akan tenang…… Ayah tahu, semua orang disini aneh, semua tak punya nurani, semuanya bodoh, ….”
”Kau….lihatlah, semakin lama kau juga semakin aneh, sudahlah kalau tiga hari ini tidak menunjukkan perubahan, Aizan akan ayah bawa ke rumah sakit jiwa.”
Lengkap sudah beban hidupku, aku tak punya pelarian, Aizan yang jadi satu-satunya alasanku bertahan disini, akan………
###
Satu yang aku pikirkan adalah tiga hari yang menjadi pintu gerbang kematian. Hari pertama aku memutuskan untuk merenung, ini memang sudah menjadi kebiasaanku, namun ini bukanlah yang biasa karena dulu saat aku merenung, aku ada di ”duniaku”, namun sekarang renunganku adalah masalah-masalah yang semakin memusingkanku, mana sempat terbesit olehku dunia itu yang ada hanyalah Aizan….Aizan dan Aizan.
Disini aku tak mempunyai teman, mungkin orang yang kuanggap agak lain hanyalah Nisa, tapi ia juga sudah terkontaminasi, aku mau minta tolong pada siapa. Apa ya yang sebaiknya aku lakukan, aduh aku bingung….. namun tiba-tiba muncul bayangan rumah sakit, ah itu yang justru sangat aku hindari, dan muncul deru ambulans yang menggila, diiringi tangisan-tangisan dan teriakan-teriakan, Tuhan aku bingung, kepalaku mulai sakit, wajah Aizan, ayah, Ibu, Nisa, datang silih berganti, aku ingin mengobati sakit kepalaku ini, aku coba memusatkan fokus, ah….. muncul lagi, kali ini jarum-jarum suntik berserakan, teriakan muncul lagi, ………. Aizan, Aizan……aku ….
###
Aku mencari tempat-tempat yang menyenangkan, mungkin tak ada yang seperti duniaku, tapi aku bisa jadi lebih tenang, setidaknya aku tak lagi memikirkan rumah sakit, ataupun ambulans, aku menyesal telah menghabiskan satu hari hanya dengan gangguan-gangguan yang membuatku tak sadarkan diri, aku terlalu menganggap rumit hingga aku merasa tertekan. Tapi kali ini, aku tak kan menyerah, fokus. Aku akan melakukan ritual, perlahan udara penuh kehidupan memasuki paru-paruku, wangi mawar dan melati mulai terhirup, kibaran daun beringin mulai terasa, saat mata terpejam, semua terasa lebih damai, kemudian mencoba meraba-raba, menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitar, di hadapanku terhampar sungai jernih….. dengan kecipak riang sebagai obat hati. Awalnya aku mengira ini adalah ”duniaku”, tapi lama aku perhatikan sekeliling, ternyata ini memang ”dunia mereka”.
Sebagai kakak yang baik, aku harus tahu apa yang terjadi pada Aizan, dia memang berbeda, tapi bukankah aku pernah berada di dunia yang sama dengannya, jadi aku harus……..
Baiklah, aku tahu apa yang akan aku lakukan, pertama-tama aku akan menghirup udara segar, kemudian memahami keindahan yang telah lama kuabaikan, kemudian aku akan pulang ke rumah, dan……it is show time
###
Mawar putih setangkai, yang pink dua tangkai, lyly putih tiga tangkai, dengan selipan anggrek bulan, jika ada aku butuh daffodil … tapi sudahlah, membuka hati seorang adik yang terpenting adalah hati pemegang kunci.
” Aizan………sayang, Kakak pulang loh……..Ai…….Izannnnnnnn….”
”………………………..”
” Aizan…………..Aizan………..”
” Dia……. pergi.”
” Pergi ? Ke Taman ? Dengan siapa Bu?”
” Dengan Ayahmu, ke Rumah sakit.”
” Apa… ”
” Karena dia kan kamu sampai pingsan, karena dia mentalmu jadi terganggu, karena dia……….”
” Karena dia, aku bisa membuka mata untuk dunia. Kenapa ayah ingkar janji ? Di rumah sakit mana Aizan?”
” Sudahlah, jangan……”
” Sudahlah, lagi-lagi sudahlah….. Ibu, aku sudah cukup bersabar selama ini, sekarang tolong jawab di rumah sakit mana Aizan?”
”……….”
” Ibu, tolong…………”
” Rumah Sakit Pelita Harapan, dia baru saja berangkat…….”
” Baiklah, tolong do’akan ……”
Air mata, kecewa, bunga yang gugur, kaki yang lunglai, semua menjadi satu dan semakin menambah kekalutan. Tapi aku tahu, bila terus seperti ini aku pasti hanya akan mendapat bayangan ambulans, rumah sakit, dan sebagainya, jadi fokuslah.
###
Akhirnya, dia masih bisa kulihat. Tepat di taman Rumah Sakit Pelita Harapan, dengan tergesa Ayah menggendongnya. Aku biarkan demikian, karena aku belum bisa menguasai hatiku sepenuhnya, mungkin esok aku akan kembali untuk menemuinya, dengan membawa Daffodil. Aku akan menemui ”dia” entah bagaimana caranya, entah itu atas izin dari-nya.
Aku, yang telah mengucapkan selamat tinggal pada ekspresi itu, yang memendam kemarahan pada-nya karena ”dia” yang mengenalkanku pada ekspresi itu, hanya membiarkanku mengecap dua kali, kemudian memaksaku meninggalkannya, yang berbohong padaku, karena nyatanya ”ia” tidak menemaniku. Tapi ”ia” juga mengizinkanku singgah sebentar di dunia impian, mengenalkanku pada dunia adikku, menunjukkan sisi indah ”dunia mereka”.
###
Dan pada tempat yang sama, di bawah pohon beringin sepoi itu, di tepi sungai transparan itu, aku menemukan Daffodil terindah. Aku bawa ke taman, aku dapati Aizan merenung, namun bibirnya tertarik ke atas, dan tatapannya tak sekosong biasanya.
”Aizan……”
” ………….”
” Ini mawar putih, lambang kesucian.”
” …………………….”
”Sama seperti dalam dunia itu, tapi lebih cerah kan? Ini artinya kesucian akan lebih bermakna kalau ada di dunia yang penuh tantangan seperti di ’dunia mereka’ .”
” Su…..ci…..”
” Iya, lalu ini mawar pink, coba pegang ! ini lambang cinta dan kasih sayang.”
”…….Cin…”
” Cinta dan sayang, seperti ”Kakak baju putih” itu, sayang sama Aizan…. makanya Aizan sering diajak jalan-jalan…..”
”………..Jalan……Ja……..lan……”
”Dan ini Lyly putih, lambang kejujuran,……..”
” …….Ly…..ly……..ju…….”
” Apa yang kamu lihat disana, juga sama seperti disini…… tidak ada yang berbohong, semua kenyataan.”
Kecuali saat ”dia” berjanji mau menemaniku.
”Yang terakhir adalah ini…….coba lihat….”
”………………..
…………….Da………”
”Tepat, daffodil, kakak tahu ini memang tidak mirip, tapi kakak sendiri loh yang buat, ……”
”……………”
” Ini lambang sebuah misteri, kalau disana, di ”dunia kita” semuanya terbuka dan jelas melambangkan keindahan, tapi di sini, di ”dunia mereka”, ada suatu rahasia hidup, sebuah misteri,………….”
” Ra………..ha………”
”  Tugas kita disini adalah memecahkan misteri itu. Jadi tolong kamu kembali ya……. banyak sekali yang harus depecahkan disini, dan setelah itu, kita akan mendapatkan yang lebih indah.”
”in……….dah……………”
” Iya, dan ’Kakak baju putih’ itu juga akan menemanimu kan, walaupun bukan di sana…………….”
”………………………………………………………………………………..”
” Ai……….zan, Kakak mohon……………………………”
”………………………………………….”
” Ai……………………………………”
Lagi-lagi menetes, padahal sungguh aku tidak mengharapkan. Setidaknya, tadi malam aku bisa menemui-nya, banyak hal yang ia beritahu, banyak hal yang kuingat saat di ”duniaku”. Aku ingin Aizan………tapi aku hargai apapun keputusannya, ia masih anak kecil, yang sebaiknya memang tinggal di ”dunianya” , ”duniaku” dulu, yang tanpa cela. Aku, terima apapun keputusannya………..
”Ka………….kak,…………….”
” Ai………………………………..kau memanggilku ?”
Sungguh aku tak bisa mengungkapkannya, dia…..memutuskan
”Kak………..Kaf………………ka…………..”
Senyum terkembang dari bibirnya, tatapannya tak lagi kosong, dia genggam erat mawar pink itu, bahkan ia meminta Daffodil kertas yang aku buat, masih membekas tetesan-tetesan itu, menjadi bercak dalam bunga.
” Mis…………………te,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,ri………………”
`                ###
Masih di tepi beringin sepoi, sepasang anak manusia, duduk termenung. Namun bukan tenggelam dalam dunia mereka, hanya mencoba mengimbangi kejernihan sungai dengan transparansi jiwa mereka. Kerinduan akan ”dia yang berbaju putih” telah lenyap, karena mereka tahu, ”dia” ada dan selalu menemani mereka saat transparansi jiwa itu berimbang. Tak ada lagi ”dunia mereka” , yang ada hanya ”dunia daffodil” dimana mereka akan tumbuh dan membuat semuanya menjadi ”dunia cahaya” , yang bahkan lebih mengesankan dari ”duniaku”. Untuk sebuah ekspresi terdamba



@@@

Tidak ada komentar: