Meninggalkan
gerbang putih yang seharusnya penuh kenangan ini aku lakukan dengan gaya berbeda
dari yang lain, dan tentu saja dengan hati yang berbeda pula dari bisaanya.
Hasil perenunganku tadi malam
Aku minta maaf, maaf setulusnya
Selalu
menyalahkan, selalu mengujat, bahkan tanpa henti. Atas segala sesuatu yang
terjadi padaku, sejak 8 tahun menjalani kehidupanku. Menampik semua yang
seharusnya ku tangkap dan perjuangkan, menghindari semua yang seharusnya
kulakukan dengan yang sebaik mungkin,
mencoba menguatkan diri sendiri dengan licik padahal sudah seharusnya aku
merasa lemah dan bisa memahami bahwa orang tidak berbekal sepertiku harus
berusaha lebih peka. Maaf… semua karena kesalahanku sendiri yang tidak aku
sadari, seharusnya aku adalah protagonist, bukan orang yang berperan sebagai
protagonist padahal antagonis sejati. Usia saat itu seharusnya sudah cukup
untuk menyadari bahwa menyembunyikan sesuatu dengan iktikad buruk pasti akan
tercium juga, itu akan kusadari seandainya jalan pikiranku memang normal. Bila
tidak ada yang ditonjolkan, tidak akan ada yang peduli pada kita, begitulah…
sehingga aku berusaha. Berusaha memenuhi
tuntutan, membuat semua orang berdecak padaku, bukan dengan berjuang
menjadi tinggi, namun berjuang merendahkan yang lain.
Setelah
semua terbongkar, cukuplah sudah semuanya. Bukan decakan lagi yang didapat
namun malah mendapat cara baru menghabiskan waktu, dengan menghujat.
Maaf
aku benar-benar tidak tahu, sudah kubilang pikiranku tidak berjalan dengan baik
untuk menyadari yang selalu mencintaiku dan berusaha mengingatkanku, sehingga
harus kuabaikan bahkan kusakiti.
Aku minta maaf, maaf
setulusnya
Membiarkan
seluruh indraku menutupi semuanya. Maaf selalu menganggapmu jahat hanya karena
sering memukul adikku yang masih kecil, maaf selalu menganggapmu jahat hanya
karena meninggalkanku sejak tiga bulan kehidupanku, maaf selalu menganggapmu
jahat karena pendiam dan saat kau berkata-kata itu sangat menusuk. Maaf selalu
menganggapmu jahat karena semua orang berkata begitu… maaf karena kita tidak
saling kenal dan tidak berlaku selayaknya orang lain yang memliki hubungan yang
sama.
Seandainya
saat itu aku tidak menganggap bahwa istilah “surga di telapak kakimu” hanya
bualan orang aneh saja, aku tidak akan menghancurkan hidupku sendiri dengan
pilihan tanpa restumu.
Aku minta maaf
setulusnya
Menyamakanmu
dengan sesuatu yang kubenci hanya karena kau suka menuntut, tidak pernah
memperhatikan keluh kesahku, selalu bersikap datar tanpa ekspresi saat aku
dengan berapi-api menunjukkan hasil keringatku, mungkin tepatnya hasil usahaku
merendahkan yang lain. Maaf, kini selalu
mengecewakanmu, tidak pernah memikirkan harapan-harapanmu yang selama ini
tertuang padaku, selalu membuatmu malu, menyia-nyiakan keringatmu mencari
rupiah demi rupiah untuk memenuhi semua kebutuhanku.
Dan
sama, aku menganggapmu jahat karena meninggalkanku sejak tiga bulan kehidupanku,
begitu kembali dengan segala macam tuntutanmu atas diriku, dan kini dengan
semua pertengkaran yang kalian tunjukkan di depanku, membuatku menganggapmu
semakin jahat, sekali lagi maaf.
Aku minta maaf,
maaf setulusnya
Menganggapmu
hanya sebagai pembual frustasi yang hanya ingin balas dendam karena dulu juga
diperlakukan begitu. Maaf karna tidak tahu bahwa kau benar-benar mencintai
pekerjanmu dan mencintai kami, bahkan berkilometer jauhnya mengayuh hanya untuk
mendapat anggukan atau gelengan ogah-ogahan dari kami., eh bukan… terutama dariku.
Asal tahu, sejak lembaga pertama yang mendidikku menganggapku sampah setelah
menjunjungku tinggi, aku tidak pernah menaruh hasratku lagi pada lembaga
semacam itu dan termasuk orang-orang di dalamnya, sehingga maaf bila kau
menjadi korban kebencianku.
Membuang jauh
apa yang kau sampaikan padahal kau berharap itu akan menjadi bekal, memberi
kesempatan kedua yang ternyata kusiakan, memberi kepercayaan bahwa suatu saat
aku akan berubah, tapi maaf mengecewakan. Pikiranku memang tidak berjalan
dengan baik.
Maaf Setulusnya
Tidak
pernah menganggap kalian benar-benar hidup, hanya kumpulan mesin terjejal yang
dikendalikan sebuah remot dari jarak jauh. Selalu menghujat kalian di balik
sikap yang kutunjukkan sebiasa mungkin. Bukan apa-apa hanya karena aku tidak bisa seperti kalian yang saling
berjuang sekuat mungkin untuk menggantungkan prestasi tertinggi. Bukan apa-apa
hanya aku saja tidak pernah memahami atau mencoba memahami jalan pikiran
kalian, karena kalian tahu kan… seperti yang selama ini kalian katakan padaku
bahwa memang pikiranku ini tidak berjalan dengan baik. Aku tidak mau repot-repot
untuk melahap kertas-kertas tebal itu, atau mengutak-atik angka-angka itu, aku
juga tidak mau bergabung dengan kalian
yang belok ke arah ber rak-rak kumpulan kertas, aku ada dunia sendiri dengan
berbagai macam piringan bulat yang membuatku meneteskan air mata setiap
menjelang episode terakhir. Aku pernah menjalani itu dulu, maksudku seperti
kalian… dan aku tidak mendapatkan apa-apa, hanya sedikit kepuasan saat semua
orang berdecak melihat kita, tapi setelah itu….nihil.
Jadi
hasil perenunganku tadi malam, dengan referensi film-film serial yang pernah
aku tonton, aku memutuskan….Peristiwa terdepaknya aku di antara kalian, karena
aku tidak lagi bisa berjuang dan bersaing bersama kalian di kelas percepatan,
aku akan jalani masa biasa saja, tiga tahun berseragam putih abu-abu. Sekarang
aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa lagi, aku akan menerima semuanya karena
memang ini yang harus aku terima, mungkin aku akan malu, atau dipandang tidak
berguna, tapi sudahlah yang jelas aku berterima kasih
PadaMu
yang selalu mencintaiku, selalu memaafkan dan memberi kesempatan untuk tidak
terjatuh pada pikiran bodoh lebih dalam, memberi pencerahan dari pertemuanku
dengannya. Pada Ibu yang sebenarnya
sangat menyayangiku aku berterima kasih, selama ini aku marah dan mungkin sedikit
membenci hanya karena aku sangat
merindukanmu, dan atas segala tekanan yang kau … terima karena kondisi yang
buruk membuatmu bersikap agak lain, untuk orang lain mungkin jahat, tapi dalam
dirimu sebenarnya aku menemukan sosok ibu. Sekarang kau sudah membuang jauh
sosok jahat itu, dan aku berharap selalu begitu…. menyayangi aku dan adik,
serta baik pada ayah. Untuk ayah aku berterima kasih, di balik sikap datarmu
sebenarnya kau sangat menghargaiku, dan menanam harapan yang tinggi karena kau
percaya sebenarnya aku mampu, hanya saja mungkin kau tidak tahu bagaimana
mengungkapkan rasa sayangmu itu. Aku sudah mengerti, aku yang salah menyikapi
sehingga merasa selalu terbebani. Guru-guruku yang sabar dan selalu berusaha
berbagi, kalian sangat memahami dan selalu memberikan yang terbaik untuk kami,
kekakuan dan segala macam tugas yang diberikan mempunyai tujuan yang sangat
mulia, terima kasih atas kesempatannya. Dan terakhir teman-temanku, sebenarnya
kalian sangat baik, aku terlalu sensitive dan memikirkan luka sehingga
menyangka kalian para pengejar prestasi yang tidak bisa memahami perasaan orang
lain, dan hanya menghabiskan waktu dengan kegiatan membosankan, tapi sekali
lagi kalian tidak salah, kalian sangat baik hanya saja mungkin sedikit
membiarkan hati berbicara akan membuat kondisi lebih nyaman.
Sebelum
perenungan itu, dengan suasana terburuk dan langkah tergontai memikirkan vonis
dikeluarkannya aku dari kelas percepatan, tidak seburuk itu juga, memang aku
sudah menduganya. Di tepi jalan itu gadis kecil yang sebaya adikku menggenggam bertangkai
bunga, dia terpisah dari sang ibu. Air matanya mengering, aku bukan orang yang
pandai bicara atau selayaknya kakak yang ramah, tapi aku ingin dia sedikit lupa
kondisinya sebagai anak hilang
“Bunganya
banyak sekali, untuk siapa?”
“Buat
ayah, ibu, temen-temen… semua yang sayang sama Nika..”
“wah….
Pasti banyak sekali yang sayang sama Nika.”
Percakapan
terhenti, aku tidak tahu apalagi yang harus aku katakan. Aku mengantarnya ke
kantor polisi, bukan apa-apa tapi opsir itu seperti sudah mengenalnya dengan
dengan sangat baik
“Aduh….
Kali ini dengan siapa lagi…..?”
“Hehe…
selamat siang Pak ….ini untuk Bapak.”
Nika,
gadis kecil itu tinggal di panti asuhan sejak berumur dua tahun, ayah dan Ibu
meninggal karena kecelakaan mobil saat akan berangkat kerja. Dia sendirian….
Ehm tidak juga, tapi dia kesepian, jadi setiap akhir pekan dia memetik banyak
bunga, menunggu di tepi jalan jika ada orang yang mengantarnya ke kantor
polisi, lalu ke makam orang tuanya. Dia selalu kuat, tidak pernah senyum manis
itu lenyap dari bibir mungilnya, dia tidak memiliki hubungan darah atau
semacamnya dengan orang lain, tapi selalu merasa semua orang menyayanginya.
Sedangkan
aku…… tidak pernah tahu sebenarnya sayang itu apa, hanya tahu semua akan mau
peduli padaku jika aku berprestasi…. Menghalalkan segala cara, akhirnya dibuang
dan sia-sia. Masa lalu dan kurangnya perhatian membuatku menghujat semua orang,
bahkan Penciptaku dan menjadi awal semua kehancuran hidupku, terutama
sekolahku.
“Ini
untuk kakak yang baik…… maaf merepotkan Kakak, terima kasih.”
Mulai
sekarang aku buka hati, memandang dari segi yang baik. Maaf setulusnya…. Dan
terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar